Tarif 0%! Komoditas Ekspor Indonesia Ini Jadi Incaran Pasar AS?

Pemerintah Indonesia, melalui Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso, terus mengintensifkan negosiasi tarif dengan pemerintah Amerika Serikat (AS). Fokus utama adalah mengupayakan tarif nol persen atau bebas bea masuk bagi sejumlah komoditas ekspor strategis Indonesia saat tiba di pasar AS. Daftar komoditas prioritas ini telah secara resmi diajukan kepada Perwakilan Kantor Dagang AS (USTR), menandai langkah signifikan dalam upaya peningkatan akses pasar.

Susiwijono merinci bahwa daftar yang diajukan mencakup berbagai komoditas unggulan seperti kakao, kopi, sawit, dan produk-produk mineral. Pernyataan ini disampaikan pada Kamis, 14 Agustus 2024, di Lippo Mall Nusantara, Jakarta, menekankan pentingnya sektor-sektor ini dalam diversifikasi dan penguatan ekspor nasional.

Pemilihan komoditas tersebut bukan tanpa alasan; Susiwijono menjelaskan bahwa pemerintah memprioritaskan produk-produk yang tidak diproduksi di AS, namun memiliki potensi ekspor yang besar dan konkret. Strategi ini menjadi vital mengingat adanya tarif resiprokal sebesar 19 persen yang diterapkan AS terhadap sekitar 90 persen komoditas Indonesia. Meskipun tarif tersebut berlaku luas, realisasi ekspor ke AS tidak selalu terjamin, sehingga fokus pada komoditas dengan potensi nol persen menjadi jauh lebih strategis dan berdampak nyata.

Setelah menyerahkan daftar komoditas tersebut, pemerintah Indonesia kini menantikan jadwal kelanjutan negosiasi dengan USTR. Susiwijono mengindikasikan harapan besar agar pembicaraan dapat berlangsung secepatnya, menunjukkan urgensi dari upaya peningkatan akses pasar ini.

Dalam konteks yang lebih luas, tarif resiprokal sebesar 19 persen yang diberlakukan AS terhadap produk Indonesia telah berlaku sejak 7 Agustus 2025. Uniknya, Menteri Perdagangan Budi Santoso justru melihat tarif ini sebagai sebuah keuntungan kompetitif. Ia menjelaskan bahwa tarif 19 persen tersebut secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan tarif yang diterapkan regulator AS terhadap para pesaing utama Indonesia di pasar tersebut, seperti Cina, Vietnam, dan India, yang kerap menghadapi beban tarif lebih dari 19 persen.

Kondisi ini, menurut Budi, menempatkan produk Indonesia pada posisi yang diuntungkan. Dengan biaya masuk yang lebih kompetitif, barang-barang asal Indonesia berpotensi besar untuk bersaing lebih mudah di pasar AS, terutama saat kondisi pasar sedang kondusif dan bergairah.

Optimisme ini diungkapkan Budi pada Rabu, 6 Agustus 2025, di Auditorium Kementerian Perdagangan, menegaskan keyakinannya bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang membuat kita “selangkah lebih maju dibanding negara lain” dalam penetrasi pasar global.

Scroll to Top