Suku Laut Air Mas Tolak Relokasi PSN: Alasan & Dampaknya

Masyarakat Suku Laut Air Mas di Pulau Tanjung Sauh, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, yang terdampak langsung oleh pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN), secara tegas menolak rencana relokasi. Penolakan ini berakar pada perbedaan mendasar antara rumah tinggal mereka saat ini, yang merupakan rumah panggung di pesisir, dengan rumah relokasi yang ditawarkan di Pulau Ngenang, yang berlokasi di daratan.

Pada awal Agustus 2025 lalu, kunjungan Tempo ke pulau yang berada di sebelah timur Kota Batam ini menunjukkan progres pematangan lahan yang begitu masif, khususnya di Pulau Tanjung Sauh Kecil. Area yang sebelumnya merupakan perbukitan rindang dengan pepohonan lebat dan hutan mangrove kini rata dengan tanah. Kondisi serupa juga terlihat di Pulau Tanjung Sauh Besar, di mana kejernihan air laut di kawasan pesisir mulai terganggu, tampak keruh meskipun penghalang sedimentasi telah dipasang untuk menahan dampak pemotongan lahan atau reklamasi yang masuk ke laut.

Kampung Air Mas sendiri hanya berjarak sekitar 300 meter dari lokasi pematangan lahan di Pulau Tanjung Sauh Besar. Sebagai bagian dari area terdampak pembangunan, PT Batamraya Sukses Perkasa (BSP), pengembang proyek di Pulau Tanjung Sauh, berencana merelokasi warga ke Pulau Ngenang, yang berbatasan langsung dengan Pulau Tanjung Sauh Besar.

Mengapa Warga Suku Laut Air Mas Menolak Relokasi?

Penolakan ini bukan tanpa alasan kuat. Muhammad, 34 tahun, salah seorang warga yang menolak pindah, mengungkapkan bahwa rumah relokasi di Pulau Ngenang berada di darat, sangat berbeda dari rumah panggung tradisional mereka yang berada di bibir pantai. Selain itu, akses sungai yang dijanjikan oleh PT BSP sebagai jalur penghubung ke rumah relokasi juga belum terealisasi. Bagi mayoritas warga Suku Laut yang memiliki kapal sebagai alat transportasi utama dan mata pencarian, ketiadaan akses ini menjadi penghalang besar. “Kemarin dijanjikan akan dibuat sungai tetapi sampai sekarang belum ada, jadi kami belum pindah ke sana,” tutur Muhammad.

Sekitar 40 kepala keluarga di Kampung Suku Laut Air Mas mayoritas masih menolak untuk berpindah. Hasan, warga Suku Laut lainnya, menambahkan bahwa meskipun ada sungai, ia merasa berat untuk pindah karena rumahnya di darat. “Kami ini tidak bisa jauh dari air,” tegasnya, menyoroti keterikatan erat mereka dengan lingkungan maritim. Kesulitan utama Hasan adalah hilangnya kemampuan untuk mengamati pasang surut air laut secara langsung dari rumah barunya, sebuah indikator krusial bagi warga Suku Laut untuk menentukan waktu melaut.

Sentimen serupa juga diungkapkan oleh warga Suku Laut lainnya, termasuk Mani, sesepuh Suku Laut Air Mas yang berusia hampir 100 tahun, yang menyebut Kampung Air Mas sebagai “tanah berkat,” menekankan nilai historis dan spiritual wilayah tersebut bagi komunitasnya.

Melihat kondisi ini, Lembaga Swadaya Masyarakat Lingkungan Akar Bhumi Indonesia, melalui Hendrik Hermawan, telah tiga kali melakukan verifikasi langsung kepada warga. Hendrik mengonfirmasi bahwa penolakan warga memang nyata, salah satunya disebabkan ketiadaan akses sungai yang dijanjikan. Akar Bhumi Indonesia kini fokus mengumpulkan data untuk mengajukan rekomendasi agar Suku Laut mendapatkan perlakuan khusus akibat dampak PSN Tanjung Sauh. “Jangan sampai, dulu mereka mengembara di laut, dipindahkan pemerintah ke darat, sekarang mau dipindahkan lagi. Kami mendampingi warga untuk membuka akses berkeadilan kepada mereka,” jelas Hendrik kepada Tempo. Dampak pembangunan ini tidak hanya mengancam eksistensi Suku Laut yang dipaksa beradaptasi dengan kehidupan darat, tetapi juga menimbulkan kerusakan lingkungan yang berimbas pada berkurangnya pendapatan nelayan. Hendrik juga menambahkan bahwa proses verifikasi administrasi terkait status “patok kampung tua” di Kampung Air Mas masih terus dilakukan.

Klarifikasi dan Upaya dari PT Batamraya Sukses Perkasa (BSP)

Menanggapi penolakan warga, PT BSP, yang berada di bawah naungan Panbil Group, menyampaikan klarifikasinya. Manajemen perusahaan menyatakan bahwa mereka telah berupaya mengakomodasi semua masukan dari masyarakat sejak awal. Direksi Panbil Group, Anwar, menjelaskan bahwa pembangunan alur sungai dari pesisir Pulau Ngenang menuju rumah relokasi yang berjarak sekitar 10 meter ke laut sedang dalam proses. Meskipun area pesisir Pulau Ngenang didominasi hutan mangrove, PT BSP telah menyurati pihak berwenang untuk izin pembangunan alur sungai tersebut. “Kami pun berkoordinasi juga dengan kementerian. Kita sedang diskusikan dengan kementerian kehutanan. Bagaimana mekanisme jangan kami tiba-tiba turun alat ke sana gitu. Walaupun itu sebenarnya permintaan warga,” ungkap Anwar, yang didampingi oleh direksi Panbil Group lainnya, pada Senin, 11 Agustus 2025.

Anwar juga menambahkan bahwa pembangunan sungai ini direncanakan akan melibatkan masyarakat sekitar, dengan fasilitas disediakan oleh PT BSP. Terkait permintaan warga untuk dibangunkan rumah di pesisir, perusahaan telah membahasnya, namun secara aturan tidak diizinkan membangun hunian di area tersebut. “Kami gak mau kerja asal-asal gitu. Segala sesuatu kami ada koridornyalah,” tegasnya.

Komunikasi dengan warga sekitar, menurut Anwar, telah berlangsung sejak tahun 2018, jauh sebelum rencana relokasi ke Pulau Ngenang ditetapkan. Bahkan, sempat ada rencana pemindahan ke Pulau Kasam di depan Pelabuhan Punggur, namun setelah dibahas dengan Pemko, peruntukannya tidak sesuai untuk permukiman. Akhirnya, Pulau Ngenang dipilih sebagai lokasi relokasi pada tahun 2021. Selain pembangunan sungai, PT BSP juga menyediakan lahan, rumah relokasi, dan uang sagu hati sebagai bentuk kompensasi. “Kalau masih ada yang menolak, kami turun lagi, kami diskusikan lagi. Kita gak ada pemaksaan,” tambah Anwar.

Data PT BSP mencatat total 150 kepala keluarga dari tiga kampung—Kampung Air Mas, Selat Desa, dan Kampung Dapur Arang—yang tersebar di sekitar Pulau Tanjung Sauh Besar, akan terdampak. Anwar juga menegaskan bahwa semua pembangunan di Tanjung Sauh telah mengantongi izin dan berstatus PSN serta Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dengan laporan berkala disampaikan kepada pemerintah pusat. Aspek lingkungan juga menjadi perhatian, dengan pemasangan jaring di sekeliling pulau untuk mencegah kekeruhan laut.

Rencananya, PSN Pulau Tanjung Sauh dan Pulau Ngenang akan menjadi lokasi pengembangan pelabuhan peti kemas, pembangkit listrik, dan kawasan industri. PT BSP telah merealisasikan investasi senilai kurang lebih Rp 5,5 triliun selama satu tahun terakhir, dengan proyeksi investasi mencapai Rp 33 triliun hingga tahun 2030.

Scroll to Top