Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Solihin, mengungkapkan adanya penahanan produksi beras premium oleh sejumlah produsen. “Saat ini, pasokan beras premium kian menipis seiring keputusan banyak produsen untuk menghentikan produksinya, bahkan lebih dari satu jenis,” kata Solihin kepada wartawan di Lippo Mall Nusantara, Kamis, 14 Agustus 2025. Ia mengaku tidak mengetahui secara pasti alasan produsen beras menekan produksi dan enggan memberikan detail lebih lanjut, hanya menyatakan posisinya sebagai pedagang.
Selain dampak dari produsen yang enggan berproduksi, Solihin menuturkan bahwa sejumlah pengusaha ritel yang kedapatan menjual beras yang diduga menyalahi standar mutu, kini memilih untuk mengurangi stok. “Banyak anggota saya dipanggil polisi karena menjual beras yang diumumkan tidak sesuai,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa para pengusaha merasa tidak nyaman karena harus memberikan keterangan kepada pihak kepolisian mengenai penjualan merek beras yang dianggap tidak sesuai standar mutu. “Pemerintah tetap menginginkan produk yang disebut tadi di-display. Namun, reaksi dari kepolisian yang memintai keterangan peritel juga menjadi suatu hal yang membuat kita kurang nyaman,” ungkapnya.
Tidak hanya dari aparat, masyarakat dan pemerintah daerah juga turut meminta agar merek beras yang dianggap tidak sesuai standar mutu diturunkan dari etalase. “Nah, itu kita mau bilang apa?” kata Solihin, menggambarkan dilema yang dihadapi peritel. Meskipun demikian, ia mengatakan para pengusaha perlahan mulai kembali menyetok dan menjual beras seperti biasa, terutama setelah mendapatkan tugas tambahan dari Bulog untuk menjual beras SPHP. “Minggu depan insya Allah sudah recovery (stok beras),” harapnya. Solihin juga memastikan tidak ada batasan jumlah pembelian bagi konsumen meskipun stok beras premium sedang terbatas. “Yang penting masyarakat jangan panik saja,” imbaunya.
Kekhawatiran serupa juga disuarakan oleh Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, yang menyatakan bahwa sebanyak 10 dari 23 penggilingan berskala kecil di Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, memilih untuk menghentikan operasionalnya sejak merebaknya isu beras oplosan. “Selain persaingan, kondisi yang sekarang terjadi juga memicu ketakutan,” kata Yeka kepada wartawan di kantor Ombudsman, Jakarta Selatan, Jumat, 8 Agustus 2025.
Pernyataan tersebut disampaikan Yeka saat menceritakan pengalamannya melakukan inspeksi mendadak ke sejumlah pengusaha beras pada Kamis, 7 Agustus 2025. Ia menuturkan, penggilingan yang tetap beroperasi pun memilih untuk mengurangi stok gabah mereka. “Misalnya, biasanya mereka punya 100 ton rata-rata stok, sekarang itu baru punya 5 ton,” jelasnya. Ombudsman juga sempat memanggil sejumlah pengusaha penggilingan besar, dan ternyata mereka pun ikut was-was serta menekan stok gabah harian.
Menurut Yeka, para pelaku usaha penggilingan beras berada dalam dilema, antara melanjutkan produksi atau menahannya. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran bahwa beras yang diproduksi akan dianggap menyalahi aturan Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) Nomor 23 Tahun 2023 tentang Persyaratan Mutu dan Label Beras. Kondisi tekanan yang dialami penggilingan ini, ungkap Yeka, menyebabkan pasokan beras menjadi langka di pasaran. Ia bahkan bercerita sudah mengalami kesulitan menemukan beras di etalase ritel modern. Yeka mengingatkan agar pemerintah segera mengambil langkah mitigasi untuk mengatasi kelangkaan beras yang dipicu oleh kekhawatiran para penggiling, salah satunya dengan melonggarkan persyaratan mutu kualitas beras.
Ia menilai bahwa selisih mutu yang tidak signifikan dari standar yang ditetapkan pemerintah seharusnya tidak menjadi permasalahan besar. Terlebih, kata Yeka, perbedaan mutu beras dapat terjadi saat proses distribusi dan pengemasan, bukan karena kesengajaan atau kecurangan. “Misalnya kandungan menirnya harusnya 5 persen, ini katakanlah 5,5 persen. Cuma selisih 0,5 persen tinggal diingatkan saja. Tidak mengurangi bobot berasnya,” pungkasnya.