Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mendadak menjadi pusat perhatian publik. Sepanjang pertengahan Agustus 2025, serangkaian pernyataannya memicu perdebatan sengit dan dianggap kontroversial oleh berbagai pihak. Sorotan tajam tertuju pada pandangannya mengenai isu krusial seperti gaji guru dan dosen, hingga analoginya yang menyamakan pajak dengan zakat.
Dua poin utama yang diungkapkan Bendahara Negara tersebut adalah sebagai berikut:
Sri Mulyani Soroti Gaji Guru dan Dosen: Pertanyaan tentang Pembiayaan Negara
Pada Kamis, 7 Agustus 2025, dalam acara Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia yang disiarkan melalui kanal YouTube Institut Teknologi Bandung (ITB), Sri Mulyani mengomentari isu gaji guru dan dosen yang seringkali menjadi perbincangan hangat di media sosial. Ia mengakui bahwa rendahnya upah tenaga pendidik ini merupakan tantangan signifikan bagi keuangan negara.
“Banyak di media sosial, saya selalu mengatakan, menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya enggak besar. Ini juga salah satu tantangan bagi keuangan negara,” ujar Sri Mulyani. Lebih lanjut, ia melontarkan pertanyaan yang memicu diskusi, “Apakah semuanya harus dari keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakat?” Meskipun demikian, ia tidak merinci bentuk partisipasi masyarakat yang dimaksud.
Analogi Pajak dengan Zakat: Perspektif Keadilan Sri Mulyani
Tak berselang lama, pada Rabu, 13 Agustus 2025, Sri Mulyani kembali menarik perhatian dengan pernyataannya yang menyamakan pembayaran pajak dengan kewajiban menunaikan sebagian harta untuk zakat dan wakaf dalam ajaran Islam. Dalam Sarasehan Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah yang digelar secara daring, ia menekankan prinsip bahwa setiap harta yang dimiliki seseorang sejatinya mengandung hak orang lain yang kurang mampu.
“Dalam setiap rezeki dan harta yang kami dapatkan, ada hak orang lain. Caranya hak orang lain diberikan melalui zakat, wakaf, ada yang melalui pajak,” jelas Sri Mulyani, mantan Managing Director Bank Dunia. Ia menambahkan bahwa pembayaran pajak, sama halnya dengan mengeluarkan harta untuk zakat dan wakaf, merupakan wujud menjalankan prinsip keadilan. Menurutnya, hasil pungutan pajak juga disalurkan untuk program-program vital yang membantu masyarakat membutuhkan, seperti bantuan sosial (bansos), dukungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), Program Keluarga Harapan (PKH), hingga layanan kesehatan. “Kalau bicara keadilan, yang lemah kita bantu. Itu kembali kepada yang membutuhkan,” tegasnya.
Pernyataan Sri Mulyani mengenai pajak dan zakat ini turut mengundang tanggapan dari para ahli. Ekonom Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai bahwa Menkeu bermaksud membangun imajinasi moral tentang kemuliaan berbagi untuk kemaslahatan. Namun, ia mengingatkan bahwa kesamaan etis tidak serta-merta berarti identik secara institusional. Dalam wawancaranya dengan Tempo pada Jumat, 15 Agustus 2025, Achmad menjelaskan bahwa zakat adalah kewajiban agama dengan sasaran jelas untuk menyucikan harta, sementara wakaf merupakan sumbangan sosial yang kekal dengan tujuan spesifik. Berbeda dengan keduanya, pajak adalah kewajiban hukum dengan tujuan penggunaan yang lebih luas.
“Masyarakat akan menerima analogi itu bila melihat hikmah zakat hadir dalam belanja negara, yaitu tepat sasaran, hemat, dan terasa manfaatnya,” imbuh Achmad. Senada dengan kritik tersebut, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, berpendapat bahwa analogi pajak dengan zakat tidak tepat jika dilihat dari sumber rujukannya. Ia menegaskan kepada Tempo pada Kamis, 14 Agustus 2025, bahwa pajak berasal dari hukum manusia berupa peraturan perundang-undangan, sementara zakat dan wakaf bersumber dari ajaran Islam. “Cara pandang Menkeu tidak terlepas dari tugas untuk mengumpulkan pajak yang lagi seret,” pungkas Prianto, menyiratkan adanya motif di balik pernyataan tersebut.