Pinjam Indonesia – JAKARTA. Nilai tukar rupiah diproyeksikan akan terus menunjukkan volatilitas yang signifikan sepanjang kuartal III-2025. Pada periode krusial ini, pembahasan mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk tahun 2026, bersama dengan kondisi fiskal domestik, akan menjadi katalis utama yang menentukan arah pergerakan mata uang Garuda.
Josua Pardede, Ekonom Bank Permata, mengemukakan bahwa proyeksi defisit fiskal Indonesia yang melebar hingga 2,78% dari PDB tahun ini menjadi tantangan serius bagi penguatan rupiah. Hal ini semakin diperparah oleh sentimen global yang masih dibayangi risiko. Menurut Josua, jika defisit melampaui target yang telah ditetapkan, kekhawatiran investor terhadap kredibilitas fiskal Indonesia dapat memicu sentimen negatif yang signifikan terhadap rupiah. “Pemerintah harus menjaga ini (defisit),” tegasnya kepada Kontan, Sabtu (5/7).
Lebih lanjut, Josua menambahkan bahwa risiko fiskal ini berpotensi diperparah oleh kondisi ekonomi domestik yang belum sepenuhnya solid. Indikasi ini tercermin jelas dari pergerakan rupiah dalam sepekan terakhir. Sebagai contoh, dalam periode tersebut, rupiah spot hanya mampu menguat tipis 0,06% ke level Rp 16.185 per dolar AS pada penutupan perdagangan pekan lalu, Jumat (4/7). Padahal, di saat yang sama, Indeks Dolar AS (DXY) tercatat terkoreksi 0,30% ke posisi 96,93 menurut data Trading Economics.
Kelemahan rupiah dalam memanfaatkan momentum pelemahan dolar AS untuk memperkuat diri dipengaruhi oleh sejumlah indikator ekonomi domestik. “Misalnya PMI manufaktur yang masih berada di zona kontraksi,” ujar Josua. Konfirmasi atas hal ini terlihat dari Indeks PMI Manufaktur Indonesia S&P Global yang anjlok menjadi 46,9 pada Juni 2025 dari 47,4 di bulan sebelumnya. Angka ini menandai tiga bulan berturut-turut terjadinya kontraksi dalam aktivitas pabrik dan merupakan penurunan paling tajam sejak Agustus 2021. Kondisi ini turut membelenggu penguatan rupiah, membuatnya tertinggal dibandingkan kinerja mata uang regional lainnya dalam sepekan terakhir.
Berdasarkan analisis tersebut, Josua menekankan pentingnya bagi pemerintah untuk menjaga konsistensi kebijakan fiskal dan moneter guna menopang pergerakan rupiah selama kuartal III-2025. Di sisi lain, Bank Indonesia disarankan untuk tetap aktif melakukan intervensi di pasar spot dan forward, menjaga stabilitas rupiah, serta memperkuat cadangan devisa. Josua juga menambahkan bahwa upaya menjaga daya tahan rupiah dapat diwujudkan melalui diversifikasi sumber pembiayaan defisit, menjaga likuiditas pasar, dan secara proaktif mendorong masuknya aliran modal asing demi memperkokoh fundamental mata uang ini.
Melihat dinamika ini, Josua memprediksi bahwa sepanjang kuartal III-2025, rupiah akan bergerak dalam rentang yang relatif lebar, yaitu antara Rp 16.000 hingga Rp 16.500 per dolar AS.
Ringkasan
Nilai tukar rupiah diproyeksikan akan menunjukkan volatilitas signifikan sepanjang kuartal III-2025, dipengaruhi pembahasan APBN 2026 dan kondisi fiskal domestik. Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menyoroti tantangan dari proyeksi defisit fiskal yang melebar hingga 2,78% dari PDB, yang dapat memicu sentimen negatif investor. Kelemahan rupiah juga diperparah oleh kondisi ekonomi domestik yang belum solid, seperti terlihat dari PMI Manufaktur yang masih terkontraksi.
Kondisi ini membuat rupiah kurang mampu memanfaatkan pelemahan dolar AS, tertinggal dari mata uang regional lainnya. Josua menekankan pentingnya pemerintah menjaga konsistensi kebijakan fiskal dan moneter, serta intervensi aktif Bank Indonesia untuk stabilitas. Upaya lain termasuk diversifikasi sumber pembiayaan defisit dan mendorong aliran modal asing demi memperkokoh fundamental mata uang ini. Rupiah diprediksi akan bergerak dalam rentang Rp 16.000 hingga Rp 16.500 per dolar AS selama kuartal III-2025.