Proyek Strategis BUMN: Untung atau Buntung untuk Saham?

Pinjam Indonesia JAKARTA. Pergerakan saham emiten-emiten strategis seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Vale Indonesia Tbk (INCO), hingga bank pelat merah sekelas PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) terpantau melemah signifikan dalam sebulan terakhir. Kondisi ini memicu pertanyaan mengenai respons pasar terhadap geliat ekspansi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sedang giat-giatnya, termasuk dalam proyek kendaraan listrik.

Kepala Riset Praus Capital, Marolop Alfred Nainggolan, mengidentifikasi beberapa faktor utama di balik minimnya respons positif pasar. Salah satunya adalah posisi PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang hanya menjadi pemegang saham minoritas dalam proyek baterai, sebuah inisiatif besar yang melibatkan CATL dan IBC. Alfred menyebutkan, “Kalau tidak salah, porsi kepemilikan ANTM dan IBC secara total hanya sekitar 40%.” Hal ini menimbulkan keraguan pasar akan kontribusi profitabilitas signifikan bagi ANTM.

IHSG Menguat 0,44% ke 6.927 pada Senin (30/6), MBMA, MDKA, INCO Top Gainers LQ45

Selain itu, Alfred juga menyoroti bahwa proyek-proyek strategis BUMN, khususnya di sektor kendaraan listrik, masih berada pada tahap awal dan baru akan beroperasi dengan kapasitas setengah dari total rencana produksi. Ketiadaan detail resmi mengenai potensi kontribusi proyek-proyek ini terhadap kinerja keuangan ANTM di masa depan turut menambah ketidakpastian investor.

Tekanan pasar global akibat eskalasi geopolitik juga menjadi perhatian Alfred. Dalam situasi ketidakpastian seperti ini, investor cenderung menghindari aset-aset berisiko dan memilih untuk menanti kejelasan realisasi proyek sebelum kembali menanamkan modal pada saham-saham BUMN.

Meski demikian, kehadiran Danantara, sebuah entitas pendanaan, sempat menciptakan sentimen positif awal di pasar, terutama bagi BUMN dengan kondisi keuangan yang kurang prima. Namun, untuk proyek-proyek baru berskala besar, seperti inisiatif kendaraan listrik, antusiasme pasar belum terlihat. Alfred menduga, “Bisa jadi karena belum adanya track record dari Danantara dan juga informasi yang belum banyak tersedia di pasar.”

Menurut Alfred, pemerintah seharusnya telah banyak mengambil pelajaran dari pengalaman penugasan terhadap BUMN Karya yang berdampak negatif pada kesehatan keuangan mereka, khususnya setelah pandemi. Padahal, dengan kehadiran Danantara, kemampuan pendanaan BUMN semakin besar. “Tinggal bagaimana pemerintah (Danantara) mengkomunikasikannya dengan baik sehingga memberi optimisme pasar dan menjadi sumber katalis positif,” tegas Alfred.

Koreksi harga tidak hanya terjadi pada saham tambang dan proyek strategis, tetapi juga menjalar ke saham bank-bank pelat merah. Fenomena ini mengindikasikan bahwa pasar belum sepenuhnya yakin akan kemampuan ekosistem BUMN dalam menciptakan nilai jangka panjang. Alfred menjelaskan, “Hal ini karena dalam 5–6 tahun terakhir, performa saham BUMN banyak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah atau politik. Ini ditangkap pasar sebagai langkah yang mengurangi kemampuan profitabilitas BUMN, contohnya seperti kebijakan tarif tol, harga gas, dan lainnya.”

Menilik Prospek IHSG hingga Akhir Tahun, Cermati Rekomendasi Saham Berikut

Alfred berpandangan bahwa kini adalah momentum krusial bagi Danantara untuk merekonstruksi persepsi pasar terhadap BUMN, menjadikannya sebagai keunggulan yang mampu memberikan valuasi tambahan. “Image profesionalisme yang dibangun dan dilekatkan ke Danantara harus bisa ditransfer dengan cepat ke masing-masing emiten BUMN beserta jajaran stafnya,” imbuhnya.

Sebagai contoh konkret aksi Danantara, pada Selasa (24/6) lalu, mereka memberikan pinjaman modal sebesar Rp 6,65 triliun kepada PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA). Alfred menilai langkah ini sangat tepat, mengingat struktur keuangan Garuda yang masih rentan pasca-pandemi. “GIAA sudah menunjukkan konsistensi dalam menghasilkan surplus EBITDA. Namun karena beban keuangan yang tinggi, perusahaan masih mencatat rugi. Posisi EBITDA ini menjadi sinyal bagi pemegang saham untuk bisa melakukan suntikan dana,” terang Alfred.

Alfred tidak menutup kemungkinan bahwa pola suntikan modal serupa akan diterapkan pada BUMN lain yang menghadapi masalah keuangan di masa mendatang, tentunya dengan syarat disertai strategi revitalisasi yang jelas dan terarah.

Table of Contents

Ringkasan

Saham-saham BUMN strategis seperti ANTM, INCO, dan BBRI mengalami pelemahan signifikan, memicu pertanyaan tentang respons pasar terhadap ekspansi BUMN, termasuk proyek kendaraan listrik. Pasar kurang merespons positif karena kepemilikan minoritas ANTM dalam proyek baterai dan proyek kendaraan listrik yang masih tahap awal tanpa detail kontribusi keuangan yang jelas. Selain itu, ketidakpastian pasar global dan persepsi bahwa kinerja BUMN banyak dipengaruhi kebijakan pemerintah yang mengurangi profitabilitas turut menekan harga saham.

Kehadiran Danantara sebagai entitas pendanaan belum sepenuhnya meningkatkan optimisme pasar, kemungkinan karena kurangnya rekam jejak dan informasi. Namun, Danantara dinilai memiliki peran krusial untuk membangun kembali persepsi positif pasar terhadap BUMN. Contohnya, pinjaman kepada Garuda Indonesia (GIAA) dianggap langkah tepat untuk membantu restrukturisasi keuangan perusahaan pasca-pandemi. Pola suntikan modal serupa mungkin diterapkan pada BUMN lain yang bermasalah, asalkan disertai strategi revitalisasi yang jelas.

Scroll to Top