Jakarta – Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan akan tetap solid di kisaran 4,8 persen. Prediksi ini disampaikan oleh Senior Economist DBS, Radhika Rao, di tengah bayang-bayang ketidakpastian perekonomian global, termasuk fluktuasi kebijakan tarif Amerika Serikat dan arah suku bunga acuan The Federal Reserve (The Fed).
Radhika memaparkan bahwa pada kuartal II 2025, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia berhasil mencatatkan pertumbuhan yang mengesankan sebesar 5,1 persen, melampaui ekspektasi awal. Capaian positif ini didorong oleh beberapa faktor kunci, di antaranya peningkatan signifikan konsumsi masyarakat pada sektor esensial seperti makanan dan transportasi. Selain itu, dukungan aktif dari subsidi pemerintah serta derasnya arus investasi asing langsung (FDI) yang terus menguat turut menjadi pilar penting dalam pertumbuhan tersebut.
Pemaparan tersebut disampaikan oleh Radhika dalam acara DBS Media Briefing bertajuk “Membaca Arah Pasar di Tengah Tantangan Kuartal III 2025” yang diselenggarakan di Artotel Mangkuluhur Semanggi, Jakarta Selatan, pada Rabu, 20 Agustus 2025. “Meskipun pertumbuhan pada kuartal II menunjukkan hasil yang lebih tinggi dari perkiraan, kami tetap mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan untuk tahun ini di angka 4,8 persen,” tegas Radhika pada kesempatan yang sama.
Lebih lanjut, Radhika menyoroti keberhasilan Indonesia dalam menjaga inflasi domestik tetap terkendali, dengan rata-rata berada pada level 2,2 persen sepanjang tahun. Stabilitas makroekonomi ini, menurutnya, merupakan modal krusial bagi Indonesia dalam menghadapi berbagai dinamika ekonomi global yang penuh tantangan.
Ia menjelaskan bahwa kenaikan tarif impor oleh Amerika Serikat, yang mencapai level tertinggi sejak tahun 1940-an, diperkirakan tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini disebabkan porsi ekspor Indonesia ke AS relatif kecil jika dibandingkan dengan negara-negara seperti Vietnam, Taiwan, maupun Korea Selatan. Komoditas ekspor utama Indonesia ke Negeri Paman Sam didominasi oleh produk elektronik, tekstil, dan pakaian jadi.
Dalam konteks kebijakan moneter, Radhika melihat adanya ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk melakukan pelonggaran. Dengan suku bunga acuan BI yang saat ini berada di level 5,25 persen, ia menilai bahwa peluang pemangkasan suku bunga masih terbuka lebar, terutama jika stabilitas nilai tukar rupiah dan inflasi dapat terus terjaga sesuai target. “Apabila kondisi eksternal mendukung, kami memproyeksikan BI berpotensi memangkas suku bunga lebih lanjut pada tahun ini,” pungkasnya.
Mengenai nilai tukar rupiah, DBS memprediksi bahwa mata uang Garuda akan bergerak stabil di kisaran Rp 16.000 per dolar AS hingga akhir 2025. Radhika bahkan memproyeksikan potensi penguatan rupiah yang lebih signifikan pada tahun berikutnya.
Radhika berharap bahwa kombinasi stabilitas nilai tukar rupiah dan pertumbuhan ekonomi yang terjaga akan terus menarik aliran investasi asing ke dalam negeri. Meskipun dihadapkan pada risiko eksternal seperti perlambatan ekonomi global dan ketidakpastian arah kebijakan The Fed, Indonesia dinilai masih memiliki prospek ekonomi yang sangat positif ke depan.