JAKARTA, – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan klarifikasi penting mengenai rencana pengenaan pajak bagi toko daring atau online, sebuah isu yang sempat menimbulkan perdebatan publik. Kemenkeu menegaskan bahwa pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan omzet di bawah Rp500 juta tidak akan dikenakan pajak.
Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, Febrio Nathan Kacaribu, menjelaskan bahwa ketentuan ini bukanlah kebijakan baru, melainkan sudah diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). “Pendapatan 500 juta kan tetap, kan seperti yang sudah ada di undang-undang HPP, bahwa kita berikan semacam PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) bagi UMKM bahwa kalau omzetnya di bawah 500 juta ke bawah itu tidak ada pajak sama sekali,” ujar Febrio di Jakarta Pusat pada Sabtu (28/6/2025), mengutip laporan jurnalis KompasTV.
Febrio juga menegaskan bahwa isu ini akan dikomunikasikan secara transparan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), terutama terkait adanya permintaan kajian ulang. “Kita akan komunikasikan dengan baik, yang jelas itu bukan pajak baru,” tambahnya. Ia lebih lanjut mengungkapkan bahwa konsep ini sebenarnya lebih condong pada aspek administrasi perpajakan, di mana Kemenkeu meminta kemitraan dari platform digital untuk membantu menjadi pemungut pajak.
Praktik serupa, menurut Febrio, telah lama diterapkan oleh berbagai platform digital raksasa seperti Google dan Netflix yang selama ini sudah menjadi pemungut pajak untuk berbagai jenis layanan. Dengan demikian, kebijakan pajak toko online ini adalah bagian dari reformasi administrasi perpajakan yang bertujuan untuk mengoptimalkan penerimaan negara. Pemerintah berjanji untuk terus mengevaluasi proyeksi penerimaan pajak dari rencana ini sebagai bagian dari target penerimaan tahunan.
Sebelumnya, rencana pemerintah untuk memungut pajak dari penjualan di berbagai platform e-commerce besar seperti Tokopedia, Shopee, dan Lazada sempat menuai kritik keras. Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, menyampaikan keberatannya pada Jumat (27/6/2025) melalui Kompas.com, menyoroti kondisi ekonomi rakyat yang sedang sulit.
“Rakyat sedang berdarah-darah, terutama pelaku UMKM yang berjualan secara online maupun offline. Persaingan usaha tidak sehat, daya beli menurun, ekonomi global juga belum pulih. Dalam situasi seperti ini, bukannya diberi napas, malah ditambah beban rakyat dengan pajak lagi,” kritik Mufti. Ia juga mempertanyakan urgensi pajak baru ini, mengingat pelaku UMKM yang berjualan secara daring sudah menanggung berbagai potongan, termasuk komisi dari penyedia platform, biaya iklan, potongan ongkir, diskon promo, hingga biaya tersembunyi lainnya.
Mufti Anam menilai kebijakan pajak ini tidak sejalan dengan semangat Presiden Prabowo Subianto yang menekankan pentingnya keberpihakan negara terhadap UMKM dan penguatan ekonomi rakyat. Oleh karena itu, ia mendesak agar rencana pengenaan pajak toko online ini dikaji secara hati-hati dan menyeluruh, serta tidak terburu-buru diterapkan sebelum instrumen yang memadai benar-benar disiapkan.
Pemprov Banten Perpanjang Program Pemutihan Pajak Kendaraan hingga Akhir Oktober 2025
Ringkasan
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengklarifikasi bahwa pelaku UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta tidak akan dikenakan pajak toko daring, sesuai Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kebijakan ini bukan pajak baru, melainkan bagian dari reformasi administrasi perpajakan yang meminta platform digital menjadi pemungut pajak, serupa praktik Google dan Netflix. Tujuannya adalah mengoptimalkan penerimaan negara.
Sebelumnya, rencana pajak ini menuai kritik dari anggota DPR, Mufti Anam, yang menyoroti kondisi ekonomi sulit dan beban UMKM yang telah ada. Ia mempertanyakan urgensi pajak baru ini mengingat berbagai potongan yang sudah ditanggung pelaku UMKM. Mufti Anam mendesak agar rencana pengenaan pajak toko online dikaji secara hati-hati dan menyeluruh.