Menteri Keuangan Sri Mulyani Public Enemy 2025?, Ini Kontroversi Pernyataannya

Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menjabat sebagai Menteri Keuangan pada 2005 hingga 2010, dan dilanjutkan kembali sejak 2016 dan sampai saat ini, tengah menjadi sorotan usai pernyataan kontroversialnya dalam suatu acara.

Bahkan, rasa – rasanya, untuk saat ini, Sri Mulyani tengah menjadi public enemy di mata masyarakat Indonesia. Hal – hal apa saja yang kemudian menjadi kontroversi dari pernyataan seorang Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani?

Kontroversi Pernyataan Sri Mulyani

1. Pernyataan kontroversial tentang gaji guru dan dosen

Pada sebuah forum diskusi nasional, dalam acara Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia 2025 yang digelar di Institut Teknologi Bandung (ITB), hari Kamis, 07/08/2025, Sri Mulyani menyampaikan tanggapannya tentang gaji guru serta dosen.

Menteri Keuangan Sri Mulyani berucap, “Banyak di media sosial, saya selalu mengatakan, menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya enggak besar. Ini juga salah satu tantangan bagi keuangan negara.”

Penuturan yang seolah tak ada masalah tersebut pun dilanjutkan dengan kalimat, “Apakah semuanya harus dari keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakat?”.

Kalimat susulan itulah yang kemudian menjadikan rakyat gagal fokus dan mengartikannya sebagai ketidakinginan negara untuk berpartisipasi dalam masalah kenaikan gaji guru dan dosen lantas kemudian membebankan pada partisipasi masyarakat. Sementara Sri Mulyani sendiri tidak menjelaskan kembali apa dan seperti apa partisipasi masyarakat yang dimaksud.

Namun rakyat mengartikannya sebagai partisipasi dalam kaitannya dengan beban pajak yang ditanggung dan dibayarkan oleh rakyat kepada negara.

2. Menyamakan pemungutan pajak dengan zakat

Dalam acara Sarasehan Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah, yang diselenggarakan di Jakarta, Rabu, 13/8/2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menjabat sejak masa pemerintahan SBY sampai Prabowo ini menyebut bahwa membayar pajak sama mulianya dengan membayar zakat dan wakaf.

Awalnya, pada acara tersebut, Sri Mulyani menjelaskan terkait tantangan ekonomi masa kini, bagaimana refleksi sistem keuangan dunia, sampai dengan tentang ekonomi dan juga keuangan syariah.

Dalam pidato tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani berujar, “Dalam setiap rezeki Anda, ada hak orang lain. Caranya hak orang lain itu diberikan ada yang melalui zakat, ada yang melalui wakaf, ada yang melalui pajak. Dan pajak itu kembali kepada yang membutuhkan,”.

Sri Mulyani dalam forum tersebut juga memberi contoh bahwa manfaat pajak sekarang ini sudah dirasakan oleh 10 juta keluarga tak mampu lewat program pemerintah yaitu PKH (Program Keluarga Harapan), sembako yang dibagikan kepada 18 juta keluarga rentan, sampai dibagikan kepada masyarakat lewat modal UMKM.

Namun, menurut banyak pihak, semua itu masih tak relevan jika menyamakan kedudukan pajak dengan zakat dan atau wakaf. Terlebih soal sasaran penerima pajak, yang menerima pajak yang dipungut negara bukan seluruhnya untuk fakir miskin sebagaimana syarat penerima zakat, melainkan pejabat dan ASN yang notabennya belum tentu mereka adalah golongan fakir miskin yang masuk ke dalam syarat penerima zakat juga menerimanya sebagai ‘upah kerja’.

Karena itu, banyak pihak yang merasa bahwa perbandingan antara zakat dengan pajak sangat tidak apple to apple, tidak relevan, dan keliru.

3. Peningkatan nilai tunjangan anggota DPR

Demo yang terjadi di berbagai daerah sejak 28 Agustus 2025 lalu, diawali dengan informasi terkait peningkatan nilai tunjangan anggota DPR di tengah efisiensi anggaran yang juga dilakukan pemerintah.

Rakyat lantas berpendapat, kenapa harus ada kenaikan nilai tunjangan anggota dewan sementara rakyat harus mati – matian ditekan dengan pajak, harus melakukan penghematan dan bahkan merasakan efisiensi anggaran?, bukankah semua itu bukan kebijakan yang adil untuk rakyat?

Kontroversi terkait nilai tunjangan anggota DPR yang naik juga semakin kontroversial setelah Adies Kadir, Wakil Ketua DPR RI yang kabarnya sekarang ini dalam proses penggantian posisi di tubuh DPR, menyampaikan bahwa tunjangan beras untuk anggota dewan mencapai 10 juta, naik menjadi 12 juta per bulan, tunjangan bensin dari 3 juta menjadi 7 juta rupiah per bulan, dan tunjangan rumah 50 juta, dengan pendapatan yang diterima 3 juta rupiah tidak cukup untuk kos sebulan.

Meski pada akhirnya, pernyataan tersebut juga buru – buru diklarifikasi oleh Adies Kadir. Hanya saja, rakyat sudah terlanjur mempertanyakan pernyataannya yang awal dan menuntut agar besaran tunjangan DPR dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai ‘pemilih’ yang mengantarkan mereka duduk di singgasana kekuasaan.

4. Tarif PPN 12% dan peningkatan tarif PBB di berbagai daerah

1 Januari 2025, menjadi awal pemberlakuan tarif PPN yang meningkat dari 11% menjadi 12%. Sebenarnya benih protes rakyat sudah mulai terlihat sejak saat itu, hanya saja masih bisa diredam.

Protes massa semakin memanas sejak 10 Agustus 2025 dimulai dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah, pada kepemimpinan Bupati Sudewo. Rakyat Pati menuntut Sudewo mundur karena telah menghina rakyat dan menantang rakyat dengan pernyataannya.

Semua itu bersumber dari kebijakan Sudewo yang meningkatkan nilai PBB sampai 250% di Pati, disusul dengan pernyataan kontroversialnya, “Mau 5.000, atau 50.000 sekalipun, saya tidak takut.”. Rakyat Pati merasa marah dan tertantang.

Masyarakat juga menilai, kebijakan terkait pajak sebenarnya tidak hanya dirasakan warga Pati, melainkan banyak daerah di Indonesia. Menurut masyarakat, jika polanya sudah masif, banyak pajak naik di berbagai daerah, harusnya Menteri Keuangan Sri Mulyani selaku pemegang tahta tertinggi di bidang keuangan negara Indonesia, tidak tinggal diam dan mengambil langkah stabilisasi.

Itulah beberapa aspek yang menjadi akar permasalahan Menteri Keuangan Sri Mulyani dinilai kurang empati dan bahkan menjadi salah satu public enemy di tengah issu efisiensi anggaran keuangan negara pada 2025 ini. Harapannya tentu, semoga Indonesia segera membaik.

Scroll to Top