Korupsi CSR BI-OJK
Korupsi yang melibatkan dana corporate social responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) kini sedang diurai modusnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penyelidikan mendalam tidak hanya berpusat pada BI, tetapi juga merambah ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), memperluas cakupan pemeriksaan kasus yang diduga merugikan negara ini.
Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menegaskan bahwa tindak pidana korupsi dalam kasus dana CSR BI ini diduga kuat terjadi karena adanya penyelewengan dana. Praktik penyimpangan tersebut kini menjadi fokus utama penyelidikan KPK untuk membongkar jaringannya.
“Kalau di OJK itu PJK namanya, PJK gitu. Jadi tidak hanya di BI saja, di OJK juga ada dan di beberapa tempat lain juga ada. Tapi yang kita dapat informasi lebih banyak dan sudah terang-benderang itu, ya dari BI,” ujar Asep kepada awak media di Gedung KPK, Jakarta, pada Kamis (24/7), mengindikasikan bahwa informasi paling konkret saat ini berasal dari Bank Indonesia.
Asep menjelaskan lebih lanjut modus operandi yang terungkap. Yayasan-yayasan mengajukan proposal kepada BI untuk berbagai program, salah satunya adalah perbaikan rumah tidak layak huni (Ruti Lahu). Anggaran dana CSR yang dialokasikan untuk program semacam ini berkisar antara 200 hingga 250 juta rupiah.
“Dari PSBI itu kemudian sesuai pengajuan itu, nanti ada yang mengajukan untuk misalkan pembuatan ruti lahu, kemudian untuk pendidikan, dan lain-lain ya,” kata Asep. Ia menambahkan bahwa “Banyak sekali proposal yang masuk dari berbagai macam yayasan. Yang di Cirebon ini, 7 yayasan itulah yang sedang kita lihat, kemudian kita dalami,” menunjukkan luasnya jangkauan yayasan yang terlibat dalam dugaan penyelewengan ini.
Dalam kasus yang sedang ditangani ini, Asep menyebutkan bahwa para pihak yang terlibat diduga kuat membuat laporan pertanggungjawaban fiktif terkait penggunaan dana CSR tersebut. Hal ini menjadi kunci dalam modus penyelewengan yang terjadi.
Sebagai contoh, Asep menguraikan, “Jadi yang digunakan hanya 50 juta, misalkan, yang 200 juta-nya atau yang delapannya, untuk delapan rumahnya, itu tidak digunakan. Itu yang diselewengkan. Itu yang kemudian oleh oknum-oknum ini digunakan untuk membeli properti dan lain-lain untuk kepentingan pribadinya.” Penjelasan ini menggambarkan bagaimana sebagian besar dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan sosial justru dialihkan untuk keuntungan pribadi.
Meskipun demikian, KPK hingga kini belum menetapkan tersangka dalam kasus ini. Namun, Asep Guntur Rahayu memastikan bahwa dalam waktu dekat KPK akan segera mengumumkan pihak-pihak yang ditetapkan sebagai tersangka. “Kemarin kami sudah expose dan kemarin, minggu ini, mungkin dalam waktu dekat lah. Tidak lewat bulan Agustus mudah-mudahan sudah kami umumkan termasuk nama-namanya,” tegasnya.
Kasus CSR BI
Dalam penanganan kasus ini, KPK masih menggunakan surat perintah penyidikan (Sprindik) umum, sehingga belum ada tersangka yang secara spesifik dijerat. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengumpulan bukti dan penetapan status masih terus berlangsung.
Sebelumnya, Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK saat itu, Rudi Setiawan, pernah mengungkapkan bahwa sebagian dana CSR BI diberikan kepada pihak yang tidak semestinya. “Jadi BI itu punya dana CSR, kemudian beberapa persen daripada sebagian dari pada itu diberikan ke yang tidak proper. Kurang-lebih seperti itu,” ujar Rudi kepada wartawan di Gedung KPK, pada Selasa (17/12/2024) lalu.
Ia menduga kuat adanya aliran dana CSR tersebut yang diberikan kepada yayasan-yayasan yang tidak tepat sasaran. “Yayasan, ada yayasan-yayasan, yang kita duga tidak tepat untuk diberikan,” pungkasnya, mengindikasikan bahwa masalah penyelewengan ini telah menjadi perhatian KPK sejak lama.