JAKARTA – Sejumlah emiten berkapitalisasi besar yang tergabung dalam indeks LQ45 menunjukkan preferensi kuat untuk mengandalkan dana internal mereka dalam membiayai agenda ekspansi bisnis pada tahun 2025. Tren ini menjadi sorotan di tengah upaya perusahaan-perusahaan besar untuk tumbuh tanpa menambah beban utang yang signifikan.
Sebagai ilustrasi, PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT) telah merealisasikan belanja modal atau capital expenditure (capex) sekitar Rp 2,6 triliun pada semester I-2025. Angka ini merupakan bagian dari total alokasi capex yang disiapkan sekitar Rp 4,5 triliun hingga Rp 5 triliun untuk keseluruhan tahun ini. Dana tersebut, sebagaimana disampaikan pihak AMRT, sepenuhnya bersumber dari kas internal perusahaan, dan telah digunakan untuk membuka lebih dari 500 gerai baru pada paruh pertama tahun lalu, menunjukkan pertumbuhan agresif yang didukung kekuatan finansial mandiri.
Langkah serupa juga diambil oleh PT Kalbe Farma Tbk (KLBF). Emiten farmasi ini telah menyerap capex senilai Rp 289 miliar pada semester I-2025, dengan target realisasi mencapai Rp 1 triliun hingga akhir tahun 2025. KLBF secara konsisten mengandalkan dana internal perusahaan untuk mendukung berbagai proyek ekspansinya. Di antaranya adalah peluncuran fasilitas produksi CT Scan, serta pengembangan fasilitas radiofarmaka yang saat ini masih dalam tahap pembangunan, menandakan komitmen terhadap inovasi dan perluasan kapasitas.
Berbeda dengan dua emiten di atas, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) menempuh strategi pendanaan yang kombinatif. Perusahaan batubara ini telah merealisasikan belanja modal sebesar Rp 1,7 triliun pada semester I-2025, dari target total capex sebesar Rp 7,2 triliun untuk tahun ini. PTBA memilih untuk menggabungkan pinjaman bank dengan kas internal perusahaan sebagai sumber pendanaan. Salah satu agenda ekspansi penting yang telah rampung adalah pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Timah Industri berkapasitas 303,1 kWp di Kawasan Industri Cilegon, yang tuntas pada 17 Juni 2025, menandai diversifikasi energi perusahaan.
Analis Korea Investment & Sekuritas Indonesia (KISI), Muhammad Wafi, memberikan pandangannya mengenai fenomena ini. Ia menilai bahwa kecenderungan emiten untuk mengandalkan kas internal sebagai sumber pendanaan capex merupakan indikator positif bagi pasar. Menurut Wafi, pendekatan ini memberikan keuntungan signifikan, salah satunya adalah tidak menambah beban keuangan atau liabilitas bagi perusahaan yang bersangkutan.
Lebih lanjut, Wafi menjelaskan bahwa strategi ini tidak selalu mencerminkan sikap kehati-hatian emiten di tengah ketidakpastian ekonomi. “Kalau ekspansi dengan dana internal sukses, maka ini bisa memberi nilai tambah. Kalau pun ekspansi tersebut gagal, ini tidak akan membebani neraca perusahaan,” tegasnya pada Kamis (21/8). Pernyataan ini menunjukkan fleksibilitas dan ketahanan finansial yang tinggi, meminimalisir risiko bagi stabilitas perusahaan.
Meski demikian, penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) menjadi 5% sebenarnya membuka peluang bagi emiten-emiten untuk mengakses opsi pendanaan eksternal, seperti pinjaman perbankan dan penerbitan surat utang, dengan biaya bunga yang lebih rendah. Namun, Wafi menegaskan bahwa pilihan untuk tetap mengandalkan kas internal adalah sah-sah saja, selama didasarkan pada pertimbangan dan kajian yang matang. “Karena itu untuk menghindari tambahan beban keuangan pada masa depan,” pungkas Wafi, menyoroti pentingnya menjaga stabilitas keuangan jangka panjang sebagai prioritas utama.