Dana Transfer Daerah Dipangkas? DPR Bereaksi!

Polemik anggaran kembali mencuat seiring terungkapnya proposal Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Fokus perhatian tertuju pada dana transfer ke daerah (TKD) yang direncanakan menyusut signifikan, dari alokasi Rp 919 triliun pada tahun 2025 menjadi Rp 650 triliun untuk tahun 2026. Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Said Abdullah, turut angkat bicara menanggapi pengurangan substansial ini, namun dengan nada optimistis bahwa dampaknya terhadap pembangunan di daerah tidak akan sebesar yang dikhawatirkan.

Said Abdullah membenarkan adanya penyusutan angka TKD, tetapi menegaskan bahwa hal tersebut tidak akan banyak berimplikasi negatif. Menurutnya, perubahan skema alokasi menjadi Bantuan Presiden (Banpres) dan Instruksi Presiden (Inpres) merupakan inti dari penyesuaian ini. “Sebenarnya dari sisi program, itu tidak menyusut, karena programnya kalau dulu langsung kepada TKD. TKD-nya saat ini programnya bentuknya Banpres dan Inpres,” kata Said kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 19 Agustus 2025. Ia juga menambahkan bahwa Banpres dan Inpres tetap akan mengacu pada usulan kepala daerah, memastikan kebutuhan di tingkat lokal tetap menjadi prioritas pemerintah pusat.

Mengenai kekhawatiran adanya sentralisasi fiskal, Said dengan tegas membantahnya. “Kalau sentralisasi itu artinya tidak ada mekanisme bawah-atas. Ini, kan, mekanisme tetap dari bawah,” jelasnya. Ia menekankan bahwa tanpa mekanisme yang melibatkan usulan daerah, pemerintah daerah akan kesulitan dalam membiayai proyek-proyek vital seperti pembangunan jalan, irigasi, jembatan, dan infrastruktur lainnya yang esensial bagi kemajuan daerah.

Meskipun demikian, penurunan alokasi anggaran negara untuk daerah ini tak luput dari sorotan sejumlah fraksi dalam sidang paripurna. Perwakilan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rio Dondokambey, secara eksplisit menyatakan keprihatinannya. Rio mendesak pemerintah untuk menyiapkan skema alternatif yang efektif guna memastikan pembangunan di seluruh daerah tetap terjaga di tengah menyusutnya dana transfer. “Alokasi transfer ke daerah menurun. Oleh karena itu pemerintah perlu memastikan adanya skema alokasi program dan anggaran lain yang efektif agar pembangunan di seluruh daerah tetap terjaga,” ucap Rio saat membacakan pandangan umum fraksinya.

Senada dengan PDIP, fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) juga menyampaikan catatan penting. Melalui perwakilannya, Ahmad Riski Sadig, PAN menekankan bahwa penurunan alokasi transfer ke daerah harus diantisipasi dengan mekanisme kompensasi yang adil. Selain itu, sinergi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah perlu diperhatikan agar belanja negara tetap produktif, merata, dan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.

Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira. Ia berpendapat bahwa pemangkasan TKD justru mengindikasikan adanya sentralisasi fiskal. Bhima menyoroti bahwa saat ini pun keuangan daerah sudah mengalami tekanan fiskal akibat efisiensi anggaran. Dengan berkurangnya anggaran TKD untuk 2026, tekanan fiskal daerah diperkirakan akan semakin membesar dan meluas secara merata.

Bhima memprediksi bahwa tekanan fiskal ini akan mendorong pemerintah daerah untuk mencari jalan pintas meningkatkan pendapatan, yakni melalui peningkatan pajak dan retribusi. Skema semacam ini, menurutnya, justru akan memberatkan masyarakat. Oleh karena itu, Bhima menawarkan solusi alternatif. “Yang bisa menyelesaikan masalah adalah evaluasi pemotongan atau efisiensi belanja pemerintah pusat,” ujar Bhima di kantor Celios, Jakarta, Sabtu, 16 Agustus 2025.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa penurunan transfer daerah ini merupakan bagian dari penyesuaian anggaran secara menyeluruh. Untuk membiayai berbagai belanja tersebut, pemerintah menargetkan pendapatan negara sebesar Rp 3.147 triliun pada tahun 2026. Target ini menunjukkan kenaikan 9,8 persen dibandingkan perkiraan penerimaan tahun 2025 yang sebesar Rp 2.865,5 triliun.

Scroll to Top