Walikota Cirebon, Effendi Edo, menanggapi sorotan publik terkait dugaan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga seribu persen, seperti yang ramai dikeluhkan warga. Ia menegaskan bahwa kenaikan memang terjadi, namun tidak mencapai angka fantastis tersebut. Hingga Kamis, 14 Agustus 2025, Edo menyatakan bahwa pemerintah kota masih mengkaji tuntutan masyarakat untuk menurunkan tagihan PBB.
Menurut Effendi Edo, kebijakan kenaikan PBB ini telah ditetapkan sejak tahun lalu, jauh sebelum ia menjabat sebagai walikota—ia baru memimpin selama lima bulan. Ia menjelaskan bahwa kenaikan PBB Kota Cirebon ini berakar dari delapan opsi yang diberikan oleh Kementerian Dalam Negeri. Opsi-opsi tersebut kemudian diintegrasikan oleh Pemerintah Kota Cirebon dan melahirkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024. Perda ini menjadi dasar hukum penetapan tarif PBB, yang diberlakukan saat Kota Cirebon masih dipimpin oleh Penjabat (Pj) Walikota.
Edo menambahkan bahwa pihaknya kini tengah mengkaji desakan masyarakat untuk merevisi perda yang sudah ada. “Saat ini kami sedang melakukan evaluasi dan kajian. Jika hasilnya memang menunjukkan perlunya perubahan, maka tidak menutup kemungkinan akan diubah,” jelasnya. Ia berharap proses kajian ini dapat rampung pekan ini. “InsyaAllah, formulasi yang kami susun akan sesuai dengan keinginan masyarakat, yang berarti akan ada perubahan,” tutur Edo optimis.
Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan di Kota Cirebon memang telah memicu gejolak sejak 2024. Sejumlah warga memprotes tingginya kenaikan PBB yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Cirebon, bahkan berujung pada demonstrasi pada 6 Juni 2024. “Perjuangan kami untuk membatalkan kenaikan PBB di Kota Cirebon sudah berlangsung lama,” ungkap Hetta Mahendrati, juru bicara Paguyuban Pelangi Cirebon, yang aktif dalam aksi protes tersebut.
Hetta merinci bahwa perjuangan mereka dimulai sejak Januari 2024, dilanjutkan dengan hearing di DPRD pada Mei, aksi turun ke jalan pada Juni, dan pengajuan judicial review pada 2 Agustus. Sayangnya, upaya judicial review mereka ditolak pada Desember 2024. Menurut Hetta, kenaikan PBB yang ditetapkan Pemkot Cirebon tahun lalu berlaku merata dengan kisaran minimal 150 persen hingga 1.000 persen. Ia mempertanyakan kebijakan ini, mengingat tahun 2023 masyarakat baru pulih dari pandemi. “Apakah bijak dinaikkan hingga 1.000 persen? Pemerintah bilang ekonomi naik 10 persen, tapi dari mana? Dari titik nol?” cetusnya, menyuarakan keresahan warga.
Dampak langsung lonjakan tagihan PBB ini sangat dirasakan oleh wajib pajak seperti Darma Suryapranata. Ia mengungkapkan bahwa tagihan PBB miliknya pada 2024 melonjak drastis dan dinilai tidak wajar. Dari hanya Rp 6,2 juta pada tahun 2023, tagihannya melambung hingga Rp 65 juta pada 2024. “Ini sangat tidak wajar dan memberatkan,” keluh Surya. Surya menyatakan bahwa meskipun secara teori ia mungkin bisa membayar Rp 65 juta, hal itu akan mengorbankan kebutuhan pokoknya. “Mungkin bisa, tapi saya tidak makan. Berapa sih penghasilan orang tua seperti saya,” tanyanya retoris. Beruntung, ia akhirnya membayar setelah mendapatkan diskon, dengan jumlah Rp 18 juta.
Kisah serupa datang dari Sulaiman, warga Pekalangan, Kota Cirebon. Ia mengaku terkejut saat menerima tagihan PBB tahun 2024 yang mencapai Rp 1,5 juta, padahal pada 2023 hanya sekitar Rp 400 ribuan. Sama seperti Surya, Sulaiman akhirnya memilih untuk melunasi tagihan tersebut setelah memanfaatkan metode diskon yang disediakan Pemkot Cirebon.