BI Prediksi Defisit Transaksi Berjalan: 0,5%-1% PDB 2023

JAKARTA — Bank Indonesia (BI) memproyeksikan kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada tahun 2025 akan tetap sehat. Prediksi ini didukung oleh perkiraan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang terkendali, diperkirakan berada di kisaran 0,5% hingga 1,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Proyeksi positif ini muncul meskipun data kuartal II/2025 menunjukkan pelebaran defisit transaksi berjalan. Pada periode tersebut, CAD Indonesia tercatat sebesar US$3,0 miliar atau 0,8% terhadap PDB. Angka ini lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya, yakni US$0,2 miliar atau 0,1% dari PDB di kuartal I/2025. Sebelumnya, CAD sempat menunjukkan tren penyusutan sejak kuartal IV/2024 yang tercatat US$1 miliar, setelah sebelumnya US$2 miliar di kuartal III/2024.

Meskipun demikian, Bank Indonesia menegaskan komitmennya untuk terus memantau dinamika perekonomian global yang berpotensi memengaruhi prospek NPI. Bank sentral juga akan mengintensifkan respons bauran kebijakannya, didukung oleh sinergi erat dengan pemerintah dan otoritas terkait, guna memperkuat ketahanan sektor eksternal Indonesia.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Junanto Herdiawan, pada Kamis (21/8/2025), menjelaskan, “Kinerja NPI 2025 diperkirakan tetap sehat, terutama ditopang oleh surplus transaksi modal dan finansial serta defisit transaksi berjalan yang rendah dalam kisaran 0,5% sampai dengan 1,3% dari PDB.” Proyeksi ini didorong oleh kuatnya aliran masuk modal asing, seiring dengan persepsi positif investor terhadap prospek ekonomi domestik yang tetap menjanjikan dan imbal hasil investasi yang menarik.

Secara lebih rinci, pelebaran defisit transaksi berjalan pada kuartal II/2025 disebabkan oleh beberapa komponen. Neraca perdagangan nonmigas, misalnya, mencatatkan surplus sebesar US$14,8 miliar. Meskipun tetap surplus, angka ini lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai US$17,7 miliar, sejalan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan fluktuasi harga komoditas.

Di sisi lain, defisit neraca perdagangan migas justru menyusut menjadi US$4,2 miliar pada kuartal II/2025, membaik dari US$4,7 miliar di kuartal I/2025. Perbaikan ini seiring dengan tren penurunan harga minyak global. Sementara itu, defisit neraca pendapatan primer meningkat menjadi US$9,8 miliar dari US$9,3 miliar pada kuartal sebelumnya, terutama karena kenaikan pembayaran dividen dan bunga/kupon sesuai pola triwulanan.

Adapun neraca pendapatan sekunder menunjukkan peningkatan surplus menjadi US$1,7 miliar di kuartal II/2025, lebih tinggi dari US$1,6 miliar di kuartal I/2025. Junanto Herdiawan mengungkapkan bahwa kenaikan surplus ini dipengaruhi oleh meningkatnya hibah dan remitansi dari Pekerja Migran Indonesia (PMI) di luar negeri.

Bank Indonesia juga mencatat bahwa kinerja transaksi modal dan finansial tetap terkendali, meskipun di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi. Investasi langsung membukukan peningkatan surplus pada kuartal II/2025 dengan arus masuk neto sebesar US$2,6 miliar, sedikit naik dari US$2,5 miliar di kuartal I/2025. Hal ini merefleksikan terjaganya persepsi positif investor terhadap prospek ekonomi dan iklim investasi domestik.

Berbanding terbalik, investasi portofolio mencatat defisit signifikan hingga US$8 miliar pada kuartal II/2025, berbalik arah dari surplus US$1,5 miliar di kuartal I/2025. Defisit ini sebagian besar didorong oleh aliran keluar modal asing dalam bentuk surat utang domestik. Namun, investasi lainnya mencatat surplus, dipengaruhi oleh penarikan pinjaman luar negeri sektor swasta. Dengan dinamika tersebut, transaksi modal dan finansial secara keseluruhan pada triwulan II 2025 mencatat defisit sebesar US$5,2 miliar.

Dengan perkembangan komponen-komponen tersebut, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal II/2025 tercatat defisit sebesar US$6,7 miliar. Meski demikian, posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Juni 2025 tetap kokoh, mencapai US$152,6 miliar. Angka ini setara dengan pembiayaan 6,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta jauh melampaui standar kecukupan internasional yang disarankan sekitar 3 bulan impor, demikian pungkas Junanto.

Scroll to Top