Bahli Minta Produsen Sawit Patuhi DMO untuk Biodiesel B50

MENTERI Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia akan mewajibkan produsen kelapa sawit memenuhi kebutuhan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) di dalam negeri untuk mendukung penerapan program biodiesel 50 (B50). Rencana tersebut akan diberlakukan melalui skema domestic market obligation (DMO).

“Kalau kebutuhan CPO bertambah, hukumnya hanya dua: bikin kebun baru atau sebagian ekspor dikenakan DMO,” ujar Bahlil saat ditemui di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa, 14 Oktober 2025.

DMO merupakan kebijakan yang mewajibkan perusahaan, terutama di sektor sumber daya alam, untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik terlebih dahulu sebelum mengekspor produknya. Dengan penerapan DMO, sebagian pasokan CPO yang selama ini diekspor akan dialihkan ke dalam negeri guna mendukung program B50.

Menurut Bahlil, kebijakan ini merupakan salah satu dari tiga opsi yang tengah dikaji pemerintah untuk memastikan pasokan bahan baku biodiesel. Dua opsi lainnya adalah intensifikasi lahan sawit dan pembukaan kebun baru.

Sebelumnya, Bahlil menyampaikan pemerintah telah menyelesaikan uji coba campuran biodiesel 50 persen (B50) pada berbagai moda transportasi, termasuk kereta, kapal, alat berat, dan kendaraan bermotor. “Kalau sudah dinyatakan clear and clean, insyaallah semester II tahun 2026 bisa kita launching,” ujarnya dalam Investor Daily Summit di Jakarta, Kamis, 9 Oktober 2025.

Sejak 2016 pemerintah telah memberlakukan program mandatori biodiesel untuk mengurangi subsidi dan impor solar. Campuran biodiesel yang awalnya B10 kini telah mencapai B40 pada 2025. Bahlil mengklaim peningkatan bauran biodiesel ini turut mendongkrak kesejahteraan petani sawit. “Kalau CPO bisa terserap di dalam negeri, nilai ekonomi untuk petani ikut naik,” katanya.

Bahlil menyebut pengembangan B50 telah mendapat restu langsung dari Presiden Prabowo Subianto dalam rapat terbatas kabinet. “Presiden sudah menyetujui peluncuran B50 tahun depan. Dengan begitu, kita tidak lagi mengimpor solar,” ujarnya.

Ia mengakui kebijakan ini mungkin akan menggoyang kepentingan para importir solar. “Para importir pasti resah. Tapi negara tidak bisa ikut maunya mereka, karena kita sudah punya aturan main,” kata Bahlil.

Implementasi B40 telah resmi dijalankan sejak awal 2025, berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 341.K/EK.01/MEM.E/2024. Dalam aturan itu, bahan bakar jenis biodiesel dicampur 40 persen Fatty Acid Methyl Esters (FAME) berbasis CPO dan 60 persen solar. Langkah menuju B50, kata Bahlil, sejalan dengan agenda Asta Cita Presiden Prabowo tentang kemandirian energi serta target pemerintah mencapai net zero emission pada 2060.

Policy Strategist CERAH Indonesia Sartika Nur Shalati menilai rencana penerapan B50 berpotensi memperluas lahan sawit secara masif. Menurut dia, untuk memenuhi kebutuhan B50 saja diperlukan tambahan lahan sawit hingga 2,5–3 kali lipat dari total saat ini yang telah mencapai 16 juta hektare. “Upaya swasembada energi memang penting, tapi kalau harus mengorbankan hutan untuk kebun sawit monokultur, itu langkah mundur,” ujar Sartika dalam keterangan tertulis, 1 Februari 2025.

Ia menambahkan ekspansi sawit justru berisiko memperlambat transisi energi karena memperpanjang umur pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara yang seharusnya segera dipensiunkan. Sartika juga menilai kebijakan ini bertentangan dengan pernyataan Presiden Prabowo dalam forum G20 di Brasil, yang menegaskan rencana penutupan seluruh PLTU dalam 15 tahun ke depan. “Jangan sampai kita menyelesaikan satu masalah, tapi menciptakan masalah baru yang lebih kompleks,” ujarnya.

Adil Al Hasan dan Dani Aswara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor: Pasokan Emas ke Antam Terdampak Akibat Longsor di Freeport

Scroll to Top